Mengapa Hujan Menjadi Mahluk yang Menakutkan?
Saya pernah punya penyakit yang agak aneh. Kata ibu saya, sewaktu usia saya sampai empat tahun, tidak boleh kena air hujan. Kalau kena sedikit saja, nafas saya akan tersengal-sengal.
Istilah yang diberikan ibu kepada saya mengenai penyakit saya yaitu ampek. Saya yang salah dengar atau memang itu istilah khusus untuk kampung saya, ternyata saat dibrowsing sama sekali tak menemukan hasilnya. Malah Google menyarankan atau membetulkan kata kunci ampek dengan campak.
Jelas bukan campak karena tidak terjadi sesuatu pada kulit saya. Ibu hanya kerap menggoda, bahkan sampai saya kuliah, bocah kok sampai empat tahun tak bisa kena air. Karena penyakit itu, saya akan diajak berdiri di belakang kaca jendela rumah.
Hanya untuk menyaksikan bagaimana teman-teman dan juga saudara-saudara saya bermain-main air hujan. Saya tentu lupa siapa saja yang sedang bermain-main dengan keceriaan tingkat tinggi kala itu. Yang saya ingat, saya tampak cukup bahagia hanya menyaksikan air hujan turun.
Beruntung mendekali masuk sekolah penyakit saya hilang. Saya tak lagi harus menunggu hujan reda kalau mau bermain. Demikian juga saat pulang sekolah, kalau hari Sabtu dan hari hujan ya sudah main hujan saja pulang sekolah.
Karena besoknya adalah hari Minggu, saatnya libur sekolah.
Namun sampai sekarang ada satu masalah yang membuat saya pasti merasa tidak nyaman. Yaitu ketika ujung celana panjang saya terkena air atau basah. Saya nggak bisa mikir sesuatu dengan tenang. Itulah alasan mengapa saya suka membawa sarung yang saya simpan di laci kerja.
Ketika musim hujan dan air hujan tetap mampu membasahi bagian bawah celana panjang saya, maka di kantor saya akan ganti mengenakan sarung. Celana saya jemut di bawah jendela depan toilet kantor.
Secara umum, saya bukan lagi mahluk yang harus berhati-hati dengan hujan, Saya pernah mendaki gunung semasa kuliah dan di tengah jalan diguyut hujan teramat deras. Sambil membawa ransel cukup berat di punggung.
Juga pernah melintasi jaraj antarkota saat SMA untuk menyambangi teman. Kehujanan bersama teman dekat dalam perjalanan selama hampit enam sampai tujuh jam. Sampai jari jemari tak lagi merasakan dingin. Bagian bagian tubuh mengecil (kalau bahasa kampung saya mengkeret hehehe).
Jadi apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan soal hujan? BUkan lagi hujan penyebab banjir. Yang bikin banjir lahan yang tak lagi memiliki pepohonan sehingga tak mampu menahan bergedernya lapisan tanah. Kalau hujan mah pemberian Allah.
Saya sekarang melihat hujan bagaikan hantu. Contoh yang paling mudah, betapa manjanya saya ketika hujan turun lantas memilih salat sendiri di rumah. Padahal saya yakin, di masjid dekat rumah selalu banyak jemaah yang tetap setia salat berjemaah meski hujan sederas apapun.
Apa gunanya mantel atau jas hujan yang ada di jok motot saya? Tetapi begitulah, hujan membuat saya bagaikan orang pandir. Mencoba beralasan dengan Tuhan. Membayangkan kelak Tuhan akan memahami alasan saya. Berangan-angan dalam kebodohan.
Kalau mantel tak opas, mengapa tak saya gunakan payung? Toh ada payung besar yang mampu menahan turunnya air hujan sehingga sekujur tubuh saya tetap kering. Ya kalau terpercik sedikit nggak jadi masalah. Dan nggak perlu dipermasalahkan.
Boleh saya rasa berangkat ke masjid tatkala hujan mengenakan celana pendek yang bersih. Sesampai di masjid barulah mengenakan sarung yang dikalungkan di leher sambil membawa payung.
Lho, kan boleh membatalkan rencana ke masjid jika hujan deras dan petir menyambar-nyambar? Iyalah, kalau memang petit menyambar, guntur menggelegar. Lha kalau hanya sekadar hujan kecil?
Hujan juga sudah membuat berapa kali janji bertemu dengan seseorang saya batalkan. Saya tentu nggak mikir entah bagaimana perjuangan teman saya menuju lokasi untuk bertemu di bawah hujan. Hingga akhirnya ia pulang kembali karena gagal bertemu.
Banyak sekali kalau saya ingat hal-hal yang harus saya batalkan hanya gegara hujan. Ketika saya merenung, teringat bagaimana saya harus berteduh di sebuah pondok kecil di sebuah kebun tepi jalan. Sambil menunggu hujan. Namun ketika hujan juga tak kunjung reda, buku dan tas saya masukkan plastik dan saya berjalan pulang.
Air hujan itu nikmat. Mengenai rambut kepala dan sekujur tubuh. Ada semacam kekuatan tatkala berjalan di tengah guyuran air hujan.
Bahkan saya pernah dengan santainya mendatangi sebuah kecamatan di kabupaten tempat saya tinggal hanya untuk menikmati banjir yang melanda. Airnya beerih karena banjir kiriman, airnya mengalir. Dan hujan juga masih turun.
Saya bersenda gurau dengan teman-teman, mengejar bola, sementara warga yang rumahnya terendam aneh melihat kami. Mungkin mereka bertanya dalam hati, "Iki jane bocah-bocah arep ngopo, lha ono wong kesusahan kok malah podho dolanan banyu."
Kami pasukan yang tak takut air hujan.
Saat artikel ini saya tulis, gerimis mulai berganti hujan. Semua warga tengah menunggu azan maghrib tanda berbuka puasa. Biasanya saya minum segelas air lalu bergegas ke masjid untuk salat maghrib berjemaah.
Ah, hujan kok terasa menakutkan. Sepertinya saya memilih menutup pintu, menunggu maghrib dan langsung berbuka puasa. Setelah itu istirahat sambil menonton televisi, baru salat magrib.
Nyuwun pangapunten Gusti.......
0 Response to "Mengapa Hujan Menjadi Mahluk yang Menakutkan?"
Post a Comment