Akhirnya Saya Menang Melawan Mereka
Sedang duduk santai di kursi sebuah pusat pelayanan kesehatan di Tanjungpinang. Menunggu judulnya.
Ada salah satu bagian yang harus dilewati untuk bisa berobat. Nah, di bagian ini kebiasaannya ialah menunggu.
Tempatnya ada, alatnya ada, namun petugasnya nggak ada. Untungnya di sebuah dinding ditulisi pengumuman. Isinya kurang lebih begini: karena yang menangani bidang ini juga bertugas di bagian lain, silakan menelepon jika membutuhkan penanganan.
Tetapi saya sungguh tak ingin menulis pelayanan yang lucu dan menggelikan menurut saya. Mungkin nanti saya tulis kalau banyak permintaan.
Percayalah, apa yang saya ungkapkan di sini merupakan kemenangan besar bagi saya. Entah mengapa, sejak kecil saya memang sudah nggak ingin dekat-dekat dengan hewan yang namanya lalat.
Dari kecil juga saya sudah dikasih tahu lalat pembawa penyakit. Paling mudah ialah mengeling-eling (mengingat) nasihat bapak dan ibuku.
Sewaktu makan dan dengan tiba-tiba ada lalat yang hinggap di nesi, lauk, sayur atau printhilan lain di piring, harus segera diusir. Berarti lalat memang nggak bagus buat kesehatan.
Terus kalau pas jalan-jalan di kampung lalu ada banyak lalat berkerumun, biasanya ada sesuatu. Lalat identik dengan bangkai. Entah bangkai kucing, cacing, burung dan kotoran sekalipun.
Artinya, menurut saya kala itu, lalat itu hidupnya suka di tempat-tempat yang kotor.
Salah satu kegemaran saya ialah menyiapkan karet gelang yang sudah saya putuskan sehingga menjadi tali. Gunanya untuk membidik lalat-lalat.
Namun senjata ini selalu berhasil dihindari. Nggak semuanya gagal, sih. Sepuluh tembakan ada satu yang kena. Atau bahkan lebih banyak tembakan hanya untuk menjatuhkan seekor lalat.
Dan..... lha kok ada lalat beterbangan di dekat saya.
Saya waspada, kerling mata saya gerakkan ke kanan, kiri, atas, bawah. Sesekali juga kedua bola matanya saya dekatkan di bagian tengah sehingga bikin orang yang lewat curiga dengan tingkah saya.
Seekor dari mereka tiba-tiba hinggap di dengkul kanan saya. Saya nggak bawa karet, karena memang sedang tak mempersiapkan diri perang melawan lalat.
Lalu tangan kanan saya angkat, jari-jemari saya katupkan, gerakkan perlahan ke atas. Yealah, baru saja tekapak tangan naik lalatnya sudah take off secepat kilat.
Wus.. wus.. wus.., saya pun mengeluatkan jurus asal tampar menggunakan tekapak tangan. Dan lalat yang barusan lolos dari jebakan saya endo (menghindar) dengan lihainya. Ih, bikin gemas.
Datang lalat lain, entah masih satu keluarga dengan lelat pertama atau dari kelompok lain saya nggak peduli. Saya diam saja. Seperti patung. Entah trik ini berhasil atau tidak, nyatanya ia kemudian hinggap di paha saya.
Mulut saya komat-kamit, bukan membaca mantera, melainkan agak pahit karena tengah puasa senin kamis. Posisi telapak tangan saya di samping alas kursi.
Sementara telapak tangan kiri saya di paha kiri. Sejenak saya berpikir, tangan mana yang akan aku gunakan. Dalam otak saya kalkukasi kecepatan, gerakan, jarak menggunakan rumus-rumus yang sulit.
Hasilnya, malah bingung nggak karuan. Sudah nggak usah banyak mikir, tekapak tangan kanan saya angkat dan langsung mengarah ke lalat yang tak menyangka serangan superhero ini.
Lah.... lalatnya kena dan kejet-kejet (sekarat). Malah menjadi kasihan saya. Saya lihat semenit kemudian, ia tak lagi bergerak. Saya ambil ponsel dan mengabadikan kemenangan yang spektakuler ini.
Kejadian berikutnya sungguh membuat saya merasa di atas angin, Bak pahlawan superhero dalam film yang menang atas sebuah pertarungan.
Total ada tiga lalat yang berhasil saya sapu dengan gerakan tangan. Semuanya is dead. Nggak berkutik.
Tetapi saya kok penasaran, rasanya mudah mengalahkan mereka hari itu. Padahal biasanya upaya saya bisa lebih keras. Lha ini hanya kaplok, satu dua ekor langsung ndhlohop.
Terus otak saya berputar, jangan-jangan lalatnya lagi kurang enak badan. Membuatnya kurang lincah. Kalau itu yang terjadi, bukan hebat dong saya.
Dan... jika mereka sakit, bisa jadi telapak tangan yang saya pakai menghajar mereka juga kotor. Atau mungkin ada bakteri yang sudah dipindahkan dari kaki lalat yang mati ke kulit telapak tangan saya.
Bisa jadi ya lalatnya memang sakit, nyatanya mereka bermain di tempat yang sama seperti saya datangi hari itu.
Jadi, kemenangan saya menurut kalian bagaimana? Jujur saja, melihat mereka tergeletak begitu saja, saya membayangkan sebuah kematian yang terjadi pada manusia.
Meski tak ada tangisan, pasti ada lalat lain yang merasa kehilangan. Saya perhatkan foto mereka di galeri album ponsel, ada yang mengiris-iris hati.
Apalagi celetukan seorang pasien yang lewat di depan saya. Ia tak membuka mulutnya keras namun menggumam. Dan saya mendengarnya. Ia katakan kurang kerjaan membunuh lalat. Saya berjanji itu yang terakhir. ***
0 Response to "Akhirnya Saya Menang Melawan Mereka"
Post a Comment